Meneladani Rasulullah SAW
Thursday, May 31, 2012
Add Comment
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kota
Madinah banjir dengan tangisan ummat islam, sebagian dari mereka ada yang
percaya dan ada pula yang tidak. Beberapa waktu kemudian, seorang Arab badui
menemui Umar dan berkata, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad!”. Kemudian Umar
menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh
Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang
sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat
menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib. Lalu orang Badui ini
mulai heran, bukankah Umar merupakan salah seorang dari sahabat
Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa
mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad SAW.
Kemudian
Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, “Ceritakan
padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku
dapat menceritakan segala keindahan dunia ini...” Ali menjawab, “Engkau
tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahawa
sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku
dapat melukiskan akhlak
Muhammad SAW, sedangkan Allah telah berfirman bahawa sungguh Muhammad memiliki
budi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Badui ini
lalu menemui Aisyah r.a, ia adalah istri Nabi SAW yang sering disapa Humairah
oleh Nabi ini hanya menjawab, “khuluquhu al-Qur’an” (akhlaknya
Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahawa Nabi SAW
itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana boleh ia
segera menangkap akhlak
Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya
menyarankan Badui ini untuk membaca Surah Al-Mu’minun, ayat pertama sampai
dengan sebelas.
Bagi para
sahabat, masing-masing mereka memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya
dengan Nabi SAW. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan
air mata-lah jawabannya, kerana mereka terkenang akan junjungan mereka. Atau
mungkin mereka hanya mampu menceritakan satu kisah yang paling indah dan
berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi.
Beberapa sahabat
yang lain menceritakan, saat yang paling indah adalah ketika sahabat tersebut
terlambat datang ke majlis Nabi SAW, sementara tempat sudah penuh sesak. Ia meminta
izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya
tempat. Di tengah kebingungannya, Rasulullah SAW memanggilnya dan memintanya
duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasulullah pun melipat sorbannya,
lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Lalu
sahabat tersebut berlinangan air mata menerima sorban tersebut, namun tidak
menjadikannya alas duduk akan tetapi malah menciumnya.
Senangkah
kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani
kita bahkan memberikan sesuatu untuk kita. Bukankah kalau mendapat kado lebaran
dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi SAW
sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani banyak orang tanpa memilah.
Dan lihatlah diri kita, kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil
sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia lagi Bijaksana.
Nabi Muhammad
SAW juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis,
kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu
Bakar, Rasulullah selalu memujinya. Abu Bakarlah yang menemani Rasul SAW ketika
hijrah dan menjadi imam ketika Rasul sakit.
Tentang Umar,
Rasul pernah berkata, “Syaitan saja takut dengan Umar, bila Umar melalui
jalan yang satu, maka Syaitan akan melalui jalan yang lain.” Dalam riwayat
lain disebutkan, “Nabi sallallahu ‘alayhi wasallam bermimpi meminum susu. Belum
habis satu gelas, Nabi sallallahu ‘alayhi wasallam memberikannya pada Umar yang
meminumnya sampai habis. Para sahabat
bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasulullah menjawab “ilmu
pengetahuan.”
Tentang
Utsman, Rasul SAW sangat menghargai Utsman, kerana itu Utsman menikahi dua
puteri Nabi SAW, hingga Utsman dijuluki Dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya).
Mengenai Ali, Rasulullah SAW bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak
sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali
adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.”
Lihatlah diri
kita sekarang. Bukankah jika ada rekan atau sahabat yang mempunyai sembilan
kelebihan dan seorang lainnya mempunyai satu kekurangan, maka kita jauh lebih
tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang
sembilan. Akan tetapi ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela.
Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi..
Dalam suatu
kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi Muhammad SAW berkata pada para sahabat,
“Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang
mahsyar nanti ada di antara kalian yang ingin menuntut balas kerana perbuatanku
pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian,
ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang
tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di
saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak
tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari
ini.”
Para sahabat
lain terkejut, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya,
Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang tersebut, tapi Nabi SAW
melarangnya. Nabi SAW pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah beliau.
Siti Aisyah yang berada di rumah merasa heran ketika Nabi meminta tongkatnya.
Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi. Kemudian Rasul memberikan
tongkat tersebut pada sahabat itu, seraya menyingkapkan bajunya, sehingga
terlihatlah perut Nabi SAW. Lalu berkata, “Lakukanlah!”
Tetapi
terjadi suatu keanehan. Sahabat
tersebut malah menciumi perut Nabi SAW dan memeluk Nabi dan menangis, “Sungguh
maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan
dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah.”
Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. Sahabat
tersebut tahu, bahawa permintaan Nabi SAW itu tidak mungkin diucapkan kalau Rasulullah
SAW tidak merasa bahawa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahawa saat
perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sallallahu ‘alayhi wasallam
sebelum Allah memanggil Nabi SAW ke hadirat-Nya.
Maka, suatu
pelajaran buat kita. Bahwasannya menyakiti orang lain, baik hati maupun
badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan
sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasulullah SAW pun sangat hati-hati
karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang
yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang
Maha Agung di tengah jutaan umat manusia?. Wallahu ‘alam bishowab…
0 Response to "Meneladani Rasulullah SAW"
Post a Comment