Sebagai seorang muslim maka sudah selayaknya untuk
senantiasa menjadikan cara pandang Islam sebagai cara pandang dalam menghadapi
berbagai persoalan dalam kehidupan, termasuk dalam masalah politik kepemimpinan
wanita.
Cara pandang Islam mengharuskan menempatkan hukum-hukum
syara’ sebagai acuan utama dalam memandang masalah. Oleh karena itu untuk
melihat layak tidaknya berbagai argumentasi yang dikemukakan untuk menolak
pengharaman presiden wanita haruslah dikembalikan kepada nash-nash syara’.
Syaikh Taqiyuddin An Nabhany dan Abdul Qodim Zalllum dalam kitab Nizhamul Hukm
fil Islam, menulis bahwa ada tujuh syarat in-iqad (syarat mutlak) yang harus
dipenuhi oleh seorang calon Khalifah sebagai kepala negara kaum muslimin, yaitu
: muslim, laki-laki, baligh, berakal,
adil, merdeka dan mampu. Ketujuh syarat itu ditetapkan sebagai syarat
mutlak calon khalifah lantaran memiliki dalil-dalil yang menunjukkan kepastian
hukum dari nash-nash syara’.
Mengenai syarat laki-laki, Imam Al Qalqasyandi dalam kitab
Maatsirul Inafah ila Ma’aamil Khilafah mengatakan bahwa syarat sahnya aqad
khilafah menurut fuqoha Madzab Syaafi’iy, yang pertama adalah lelaki. Tidak
terjadi aqad manakala diberikan kepada seorang wanita. Dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Shahabat Abu Bakrah ra yang mengatakan
bahwa tatkala mendengar kabar mengenai penyerahan kekuasaan negara Persia
kepada seorang Putri Kisra yang bernama Buran sebagai ratu setelah ayahnya
meninggal, maka Rasulullah saw bersabda :
"’Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan (pemerintahan/kekuasaan) mereka kepada seorang wanita".
Sekalipun teks hadist tersebut berupa kalimat berita atau
khabar, pemberitaan tersebut datang dalam bentuk tuntutan (thalab). Pemberitaan
tersebut di dalamnya disertai celaan terhadap orang-orang yang menyerahkan
urusan kekuasaan kepada wanita yakni peniadaan keberuntungan mereka, maka hal
ini menjadi ‘qorinah’ (indikasi) bahwa tuntutan itu bersifat tegas dan pasti.
Dengan demikian hukumnya adalah haram bagi seorang wanita memangku jabatan
pemerintahan.
Adapun selain urusan pemerintahan, maka hukumnya boleh bagi
wanita untuk menduduki posisi-posisi itu misalnya menjadi pegawai negeri,
kepala bagian, direktur sebuah biro administrasi, keuangan dan lain-lain.
Kenapa demikian? Sebab pembicaraan dalam hadist itu adalah mengenai putri Kisra
yang menjadi Ratu Persia. Dengan demikian jabatan-jabatan yang bukan penguasa
pemerintahan tidak termasuk dalam perkara yang dimaksud dalam larangan
penyerahan jabatan kepada seorang wanita. Oleh karena itu dalam sistem Islam
jabatan kepala negara dan kepala wilayah atau daerah seperti khalifah, Mu’awin,
Tafwidl, wali dan amil tidak diperbolehkan dipegang oleh wanita.
Adapun jabatan Qodli (hakim), kecuali Qodli Madzalim yang
mengadili para pejabat diperbolehkan dijabat oleh seorang wanita. Sebab Qodli
(hakim) dalam sistem pemerintahan Islam tidak termasuk jabatan kekuasan. Qodli
adalah jabatan mengadili perkara perselisihan diantara anggota masyarakat atau
pelanggaran ketertiban umum atau hak-hak jama’ah dimana fungsi qodli sebagai
pemutus perkara adalah penyampai keputusan Allah pada tiap-tiap perkara. Dengan
demikian jabatan memberitahukan hukum Allah SWT itu bisa dijabat oleh siapa
saja baik laki-laki maupun perempuan yang memahami hukum Allah. Khalifah Umar
bin Khatab pernah mengangkat Assyfa binti Abdullah bin Abdi Syam (seorang
wanita dari Quroish yang wafat pada tahun 20 H) menjadi qodli hisbah yakni yang
memutuskan perkara-perkara pelanggaran hak umum di sebuah pasar yang bertugas
untuk menjatuhkan vonis hukum kepada semua orang yang melakukan pelanggaran
terhadap hukum syara’.
Jelas sekali kekuatan hukum Islam yang melarang wanita
menjadi kepala negara. Terlebih lagi Al Qurán menyebut penguasa dengan kata
ulil amri firman Allah dalam QS. An Nisaa’ ayat 59 :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rosul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Alqurán) dan
Rasul-Nya (As-sunah)".
Lafadz
ulil amri adalah lafadz untuk laki-laki. Kalau untuk perempuan digunakan lafadz
uulatul amri.
Kalau ada yang mengatakan bahwa khalifah sebagai jabatan
kepala negara dalam Islam kan tidak sama dengan jabatan presiden dalam sistem
republik,
sehingga
tidak tepat kalau syarat khalifah diterapkan kepada jabatan presiden, maka teks
hadist di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Yakni, kalau Buran, putri
Kisra, yang dinobatkan sebagai ratu (kepala negara dalam sistem monarki) kaum
Majusi di Persia dicela (sebagai indikasi keharaman) oleh Rasulullah saw., apa
bedanya dengan presiden? Sungguh orang yang berfikir akan mudah memahaminya.
0 Response to "Syarat Mutlak Pria Kepala Negara"
Post a Comment