8BmEg4v8P7uY0xxaFhXUJ46gPclAwvFkbC47Z6LN
Bookmark

Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer

Buku               : Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer

Penulis             : Inyiak Ridwan Muzir

Penerbit           : Ar-Ruzz Media, Jogjakarta

Cetakan           : Pertama, 2008

Tebal               : 280 halaman

Penulis            : Hasbi Arijal, M.Ag.

Dunia filosofis, adalah dunia yang penuh dengan perdebatan panjang. Tidak jarang hanya karena masalah satu kata atau pemahaman saja bisa memunculkan perdebatan sengit bahkan hingga berdekade-dekade lamanya. Namun, justru perdebatan itulah yang menjadi esensi dari kehidupan berfilsafat, karena yang dicari adalah sebuah kebenaran yang hakiki, yang tentu banyak melibatkan proses aksi-reaksi, tesis-antitesis, kontruksi-rekonstruksi-dekonstruksi, dan bergerak melampaui ruang dan waktu. Salah satu tema kontemporer dalam perbincangan filsafat adalah filsafat interpretasi atau filsafat hermeneutika.

Buku ini membahas percikan-percikan pemikiran Gadamer dalam ranah hermeneutika secara umum. Hermeneutika Gadamer berakar kuat dalam konsepnya tentang sejarah. Menurut Gadamer, manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari sejarah. Manusia milik sejarah, bukan sebaliknya. Eksistensi manusia (Dasein) selalu menemukan dirinya telah terkait dengan yang lain. Kita menemukan wujud diri kita telah berada dalam dunia (In-der- Welt-Sein/wujud-di-dalam-dunia) yang tidak kita ciptakan, dan inilah dunia kita. Dalam pandangan Gadamer, situasi dan kondisi penafsir sekarang (ia mengistilahkannya sebagai situasi hermeneutis/hermeneutical situation) merupakan sebuah pra-penilaian yang tidak bisa dihilangkan karena situasi tersebut adalah “given.” Gadamer menyatakan sejarah yang membentuk kesadaran. Pengetahuan pun terbentuk oleh sejarah. Gadamer mengistilahkannya Wirkungsgeschichtliches Bewusstsein (effective-historical consciousness/efek-kesadaran sejarah).

Bagi Gadamer, manusia tidak dapat dipisahkan dari sejarah serta tidak ada jarak antara dunia dan manusia. Manusia sudah berada di dalam dunia. Wujud di dunia adalah eksistensi manusia. Oleh sebab itu, dunia tidak dapat diobjektifikasikan. Metode ilmiah sebagaimana yang dikembangkan sejak periode Pencerahan (Enlightenment) keliru karena ingin memisahkan antara manusia sebagai subjek dan dunia sebagai objek. Jadi, efek-kesadaran sejarah adalah kondisi yang non-objektifikasi. Sekalipun begitu, kesadaran yang non-objektifikasi selalu mengiringi proses pemahaman. Gadamer menyatakan “a nonobjectifying consciousness always accompanies the process of understanding.” Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia sebenarnya telah ada sebelum manusia mulai memahami. Oleh sebab itu, menurut Gadamer, pemahaman adalah kondisi yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Oleh sebab itu, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis manusia. Pemahaman adalah persoalan ontologis.

Akhirnya, buku ini sekilas bagus untuk menjadi bacaan para akademisi, terlebih peminat kajian filsafat hermeneutika. Namun, pembacanya harus benar-benar mengerti, serta tidak salah dalam memaknai apa yang penulis sampaikan atau menelan bulat-bulat tanpa mencernanya ketika diterapkan pada studi keislaman. Wallahu a’lam.

Posting Komentar

Posting Komentar