8BmEg4v8P7uY0xxaFhXUJ46gPclAwvFkbC47Z6LN
Bookmark

Sejarah Kodifikasi Al-Qur'an

Oleh Syamsi Wal Qomar & Ahmad Khoirurroziqin

Pendahuluan 

Al-Qur’an sebagaimana yang dimiliki umat Islam sekarang ternyata mengalami proses sejarah yang cukup panjang dan upaya penulisan dan pembukuan (kodifikasi). Pada zaman Nabi Muhammad SAW, Al-Qur’an belum dibukukan ke dalam satu mushaf. Tetapi masih terpisah-pisah penulisannya . Al-Qur’an baru ditulis dalam menggunakan kepingan-kepingan tulang, pelapah-pelapah kurma, lempengan batu-batu dan lain-lain, yang sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat waktu itu yang belum mengenal adanya alat-alat tulis menulis, seperti kertas dan pensil.

Pada hakikatnya Allah menjamin kemurnian dan kesucian Al-Qur’an, selamat dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan atau pengurangan-pengurangan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Hijr: 9, dan juga dalam surat Al-Qiyamah: 17-19. Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan bahwa proses kodifikasi dan penulisan Al-Qur’an dapat menjamin kesuciannya secara meyakinkan. Al-Qur’an ditulis sejak Nabi masih hidup. Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi langsung memerintahkan para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Begitu mereka tulis, kemudian mereka hafalkan sekaligus mereka amalkan.

Usaha pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an telah dimulai sejak masa Rasulullah saw. Secara resmi kodifikasi Al-Qur’an dimulai pada masa khalifah Abu Bakar bin Khattab. Pada masa khalifah Utsman, Al-Qur”an kemudian diseragamkan tulisan dan bacaannya demi menghindari beberapa hal. Mushaf yang diseragamkan inilah yang kemudian dikenal dengan mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani kemudian diberi harakat dan tanda baca pada masa Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa perbedaan tentang urutan ayat maupun surah seperti yang dicantumkan dalam mushaf Utsmani, hal ini dikarenakan perbedaan pendapat para penghapal Al-Qur’an dan karena turunnya Al-Qur’an memang tidak berurutan seperti yang terdapat dalam mushaf Utsmani.

Makalah ini akan menguraikan tentang sejarah kodifikasi Al-Qur’an dari masa Rasulullah, masa Abu Bakar, masa Utsman bin Affan dan perbedaan kodifikasi antara masa Abu Bakar dan masa Utsman bin Affan.


Pengertian Kodifikasi Al-Qur’an

Kata kodifikasi/ pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ Al-Qur’an) terkadang dimaksudkan sebagai pemeliharaan dan penjagaan dalam dada (bilhifzhi), dan terkadang dimaksudkan sebagai penulisan keseluruhannya, huruf demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat dan surat demi surat (bilkitaabah). Yang kedua ini medianya adalah shahifah-shahifah dan lembaran-lembaran lainnya, sedangkan yang pertama medianya adalah hati dan dada .

Hal senada dijelaskan oleh Manna’ Khalil Al-Qathan (2001:178-179) dalam bukunya Mabaahis fi Ulumil Qur’an , ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut :

Pertama, pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi, Nabi senantiasa menggerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al-Qur’an ketika hal itu diturunkan kepadanya sebelum selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya.Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Qiyamah : ayat 16-19.

Kedua, pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an seluruhnya) baik dengan memisahkan-memisahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara  terpisah, atau menertibkan ayat-ayat dan suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat.

Kodifikasi Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah SAW.

Kodifikasi  Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara, yaitu Al Jam’u bima’na hafazhahu fis sudur dan yang kedua adalah Al jam’u bima’na kitaabatuhu fi suthur . 

 
Pertama : Al Jam’u bima’na hafazhahu fis Sudur

Pada bagian ini para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.

Di antara para sahabat yang paling terkenal dalam hafalan Al-Qur’an berdasarkan riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, mereka adalah Ibnu Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Mu’azd bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin As Sikkin, dan Abu Darda . Mereka berasal dari kaum Muhajirin dan Anshar.

Kedua : Al jam’u bima’na kitaabatuhu fi suthur

Setiap kali turun wahyu kepada Rasulullah SAW, Beliau selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya, sembari melarang para sahabat untuk menulis hadits-hadits beliau, karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an .

Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an pada media yang terdapat pada waktu itu berupa Ar-Riqa’ (kulit binatang), Al-Likhaf (lempengan batu), Al-Aktaf (tulang binatang yang kering), Al-`Usbu ( pelepah kurma), Al-Jarid (kulit batang pohon kurma), Al-Aqtab (pelana kuda), Ash-Shuhuf (kertas), Al-Alwah (papan), Azh-Zhurar (batu tipis), Al-Khazaf (tanah yang dibakar/batu bata), Al-Karanif (akar keras pohon saf) . Dan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai lebih dari 40 orang .
Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an telah terjadi pada masa Rasulullah adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh Al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas , ia berkata:  “Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al-Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang “. Serta kisah masuk Islamnya sahabat Umar bin Khattab  yang disebutkan dalam buku-buku sejarah bahwa waktu itu Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al-Qur’an kemudian Umar mendengar, meraihnya kemudian membacanya. Adapun hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu adalah Rasulullah  melarang membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah musuh .

Akhirnya dari kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah Khulafaur Rasyidin, Mu’awiyah bin Abi Sofyan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan lain-lain .

Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Rasulullah tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh yang lain. Karena sebelum Rasulullah wafat, pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf belum dilakukan, sebab Rasulullah masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu kewaktu. Sesudah berakhir masa turunnya Al-Qur’an  dengan wafatnya Rasulullah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para KhulafaturRasyidiin sesuai dengan janji-Nya   yang benar kepada umat tentang jaminan pemeliharaan Al-Qur’an dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar bin Khattab.

Kodifikasi Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar.

Setelah Rasulullah wafat dan Abu bakar dipilih menjadi khalifah.Pada masa pemerintahan Abu Bakar inilah terjadinya kodifikasi Al-Qur’an yang mana susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).

Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas seorang nabi palsu, yakni Musailamah Al-Kadzdzab dan para pengikutnya. Hingga pada akhirnya peperangan tersebut menewaskan 70 orang sahabat penghafal Al-Qur’an. Khawatir akan hilangnya Al-Qur’an karena para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam medan perang. Lalu Umar bin Khattab menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan.Namun pada awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh Umar bin Khattab. Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah melakukannya. Tetapi Umar bin Khattab terus membujuk Abu Bakar untuk melakukannya dan akhirnya Abu Bakar menerima usulan tersebut. Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit untuk melakukannya. Seperti Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak perintah Abu Bakar dengan alasan yang sama. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Zaid bin Sabit menyetujui usulan tersebut .

Dalam usaha pengumpulan ini, Zaid Bin Tsabit berpegang pada tulisan-tulisan yang tersimpan di rumah Rasulullah, hafalan-hafalan dari sahabat dan naskah –naskah yang ditulis oleh para sahabat untuk mereka sendiri. Zaid bin Tsabit menghimpun surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan petunjuk Rasulullah sebelum Beliau wafat dan menulisnya pada berbagai macam benda.

Mushaf-mushaf yang telah terkumpul lalu disimpan di rumah khalifah Abu Bakar hingga beliau wafat. Mushaf-mushaf ini kemudian dipindahkan dan disimpan di rumah khalifah Umar bin Khattab hingga beliau wafat. Terakhir, mushaf-mushaf ini disimpan di rumah Ummul Mukminin Hafshah sesuai wasiat dari khalifah Umar bin Khattab.

Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al-Qur’an dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi Thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : ” Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur’an, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf.”

Kodifikasi Al-Qur’an Pada Masa Utsman Bin Affan.

Pada masa khalifah Utsman bin Affan kaum muslimin mulai banyak yang berselisih tentang Al-Quran. Disebutkan bahwa di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman terkejut melihat adanya perbedaan dalam membaca Al-Quran hingga satu kaum mengkafirkan yang lain. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca Al-Qur’an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca Al-Qur’an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.

Setelah itu Hudzaifah segera mendatangi khalifah Utsman dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al-Quran sebagaimana perselisihan antara Yahudi dan Nasrani.” Kemudian Utsman bin Affan menerima usulan tersebut. Beliau lalu mengirimkan utusan untuk meminjam mushaf kepada Hafshah untuk disalin.  Ia memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-‘Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushaf.

Mushaf yang telah tersusun kemudian disalin dan dikirimkan tujuh kota, yaitu Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan Madinah. Walaupun sebenarnya terjadi perbedaan pendapat dalam hal ini. Para ulama berpendapat bahwa mushaf yang ditulis pada masa Utsman bin Affan ada yang berjumlah delapan mushaf , tujuh mushaf , lima mushaf dan empat mushaf . Terlepas dari perbedaan tersebut, mushaf inilah yang dikenal dengan mushaf  Utsmani. Lalu Utsman bin Affan memerintahkan kepada seluruh negeri agar umat muslim menggunakan mushaf  Utsmani. Ia juga memerintahkan semua mushaf yang bertentangan dengan mushaf  Utsmani dibakar. Dan beliau juga menyuruh supaya memakai mushaf Utsman supaya tidak terjadi perpecahan dan perselisihan di antara mereka.

Sesudah mushaf-mushaf tersebut dikirim keberbagai kota dan Utsman bin Affan memerintahkan supaya umat muslimin memakai bacaan seperti bacaan Utsman bin Affan. Kemudian beliau memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsmani.Atas tindakan ini, banyak para sahabat dan tabi’in yang marah. Mereka mengecam tindakan Utsman bin Affan yang tidak pernah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Seperti contohnya Ibnu Mas’ud, beliau merasa tersinggung sekali karena mushaf yang diambil dari beliau juga dibakar. Beliau mengatakan bahwa beliau lebih dulu dari Zaid bin Tsabit masuk Islam. Beliau meminta sahabat-sahabatnya untuk mempertahankan mushaf-mushaf mereka.

Menanggapi kecaman tersebut, kemudian Utsman bin Affan menulis surat kepada para sahabat-sahabat beliau untuk menyetujui tindakan tersebut demi kebaikan bersama dan menghindari perselisihan. Tindakan Utsman bin Affan pada masa itu merupakan kebijakan yang luar biasa, karena dengan demikian kemurnian Al-Qur’an akan selalu terjaga sebagaimana yang telah diwahyukan oleh Allah kepada rasulullah. Dan atas tindakan ini, ketika Ali bin Abi Thalib ketika ditanya tentang pembakaran mushaf yang dilakukan Utsman bin Affan, beliau menjawab, “Kalaupun dia tidak melakukan itu, saya yang akan melakukannya”. Dan di depan orang banyak Ali berkata, “ Saudara-saudara, janganlah kalian berlebihan dalam mengatakan Utsman telah membakar mushaf. Dia membakarnya sepengetahuan sahabat-shaabat Rasulullah.Kalau saya dibaiat seperti dia, niscaya akan saya lakukan seperti yang dikerjakannya itu”.

 

Perbedaan kodifikasi Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar Ash Shiddiq dan Utsman Bin Affan.

Pengumpulan Mushaf pada masa Abu Bakar  adalah bentuk pemindahan dan penulisannya Al-Quran ke dalam satu Mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul dari kepingan-kepingan batu, pelepah kurma, kulit-kulit binatang dan lain-lain. Adapun yang melatar belakanginya adalah upaya memelihara Al-Qur’an dari kepunahannya, karena banyak para shabat penghafal Al-Qur’an yang gugur syahid pada perang Yamamah dan juga atas bujukan Umar bin Khattab.

Adapun pengumpulan Mushaf pada masa Usman bin Affan adalah menyalin kembali Mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh Negara Islam. Dan yang melatar belakanginya adalah terjadinya suatu perbedaan dalam hal membaca Al-Qur’an sebagaimana yang dilaporkan oleh Huzdaifah kepada Utsman bin Affan. Selain berbeda cara membaca antara mereka dan mereka juga saling menyalahkan satu sama slain. Maka atas dasar inilah Utsman bin Affan khawatir akan terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, sehingga beliau memerintahkan untuk menulis Al-Qur’an dalam satu mushaf  dengan tertib ayat dan suratnya seperti yang ada sekarang ini. Beliau mengambil jalan tengah untuk menulis Al-Qur’an dengan dialek bahasa Qurasy dengan alasan bahwa Al-Qur’an di turunkan dengan bahasa mereka.

Penutup.

Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari penjelasan di atas yaitu:

  1. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang beragam.
  2. Pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang beragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah.
  3. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan adalah menyeragamkan bacaan Al-Qur’an dengan jalan menyeragamkan penulisannya kemudian membukukannya dengan menyalinkan kembali ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah  ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan lalu diperbanyak dan dikirimkan ke daerah-daerah.


REFERENSI

Al Qur’anul Karim
Hasan Ayyub, Al Hadits fi Ulumil Qur’an, ( Mesir : Darus Salam, 2007), Cet. Ketiga
Muhammad Abdul Azhim Al Zarqani, Manahil Al-‘Urfan fi Ulum Al-Qur’an,  (Beirut : Darul Kitaab Al ‘arabiy, 1995)  Cet. 1
Manna’ Khalil Al-Qathan, Mabaahits fii Ulumil Qur’an, 1990
Dr. Fahdlu Hasan Abbas, Itqaanul Burhan fi Ulumil Qur’an, Juz 1 ( Jordan : darun Nafaa’is, 2010) Cet. Kedua,
Imam Muslim, Shahih Muslim, ( Riyadh : Darus Salam, 2000), Cet. Kedua
Dr. Muhammad bin Luthfi Ash-Shibagh, Lamhaatu fi Ulumil Qur’an wa Ittijaahaat At Tafsiir, (Beirut : Al Maktab Al Islami, 1990), Cet. Ketiga
Muhammad Thahir, Taarikhul Qur’an wa Garaa’ibu Rasmihi wa Hukmihi, ( Riyadh : Daar Adhawaa’us Salaf, 2008), Cet. Pertama
Ibnu Hisyam, As Sirah An Nabawiyah, Jilid Kedua, ( Beirut : Al Markaz Ats Tsaqafi Al Banaani, 2004), Cet. Pertama
Imam Muslim, Shahih Muslim, Cet. Pertama, ( Mesir : Daarul Hadits, 1991), Juz 3, hal. 1491
Jaluddin As Suyuthi, Al Itqaan fi Ulumil Qur’an, Juz Pertama, (Beirut : Al Maktabah Al Ashriyah, 2003),

Posting Komentar

Posting Komentar