8BmEg4v8P7uY0xxaFhXUJ46gPclAwvFkbC47Z6LN
Bookmark

Telaah Terhadap Konsep Teologi Humanisme

 PENDAHULUAN

Secara umum humanisme merupakan suatu paham yang memandang bahwa, manusia adalah standar segalanya. Paham ini meniscayakan penghapusan agama. Dimana di Barat telah terjadi peruabahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sabagai pusat) menjadi antroposentris  (manusia sebagai pusat). Perubahan ini dianggap revolusioner yang selalu mengiringi perubahan Barat modern semakin eteis.[1] Demi mengembangkan pemikiran humanis-liberal, dapat berimplikasi meninggalkan agama yang dimana Tuhan segala sumber inspirasi pengetahuan, karena secara tidak langsung agama bagi humanis diyakini sebagai sekat yang menutup kesadaran manusia.[2] maka untuk memperolah kesadaran dalam melakukan penelitian empiris, sangat disarankan bagi Barat utuk meninggalkan seutuhnya ajaran-ajaran agama yang kaku, termasuk wahyu yang bagi kalangan humanis tidak mampu memenuhi atau menyeseuaikan kebutuhan manusia di zaman era modern. Pemahaman ini menjadikan manusia sumber moral, nilai, dan lainnya.[3] Adanya pemahaman humanis-liberal zaman postmodern, mampu mengusi segi-segi misterius dan sakral dalam diri manusia, maksudnya menghilangkan  ajaran-ajaran agama menjadi pemahaman keagamaan berdasarkan rasio yang mengatur agama.[4]


Dengan perkembangan humanisme ini, mampu merubah cara pandang manusia terhadap Tuhan. Karena dasarnya, ingin manusia yang mengatur segala urusan manusia, atau bahasa lainnya manusia sumber kebenaran dalam mengatur pola pikir dan tingkah laku manusia.[5] Yang lebih mengawatirkan lagi, umat Islam yang telah memiliki (worldview Islam) pandangan hidup benar, juga tak luput dari pengaruh dan kontaminasi pemikiran humanis-liberal ini.[6] Banyak kalangan ilmuwan Muslim yang terpesona dan menerapkannya, bahkan secara terang-terangan menyebarkan paham tersebut.

Perkembangan yang begitu pesat terlihat di Barat sejak masa Pencerahan dan Renaissance. Perkembangan tersebut meliputi aspek keilmuan, teknologi, filsafat dan doktrin religius sebagai kepercayaan masyarakat. Salah satu hal yang amat menarik perhatian dalam perkembangan tersebut adalah munculnya sebuah doktrin yang mengatasnamakan diri sebagai humanis.[7] Kaum humanis merupakan sebuah perkumpulan manusia dibawah ide dan doktrin yang sama, yaitu konsep antroposentris (menjadikan manusia sebagai titik pusat segala macam tindakan dan peraturan yang ada dimuka bumi). Kaum tersebut dengan doktrin kuatnya kemudian sering disebut dengan humanisme, yang sering disandingkan dengen salah satu pengertian sebagai sebuah sistem progesif filsafat yang memiliki kaitan erat dengan pola kehidupan manusia dengan menitikberatkan pada sikap anti Tuhan dan berbagai macam kepercayaan supranatural lainnya, hal ini kemudian membuka ruang yang menegaskan bahwa manusia telah menjadi penanggungjawab atas penentu etika dan segala hal berkaitan dengan kemanusiaan.[8] Mengutip salah satu tokoh bernama Anthony Pinn didalam bukunya, yang menegaskan bahwa aliran humanis memiliki tujuan menciptakan kehidupan yang berlandaskan pada aspek kebebasan dari sebuah doktrin supranatural sehingga manusia mampu menjadi bagian natural yang menghasilkan nilai-nilai sebagai landasan moral dan aturan.

WACANA HUMANISME DI BARAT

            Melalui penjelasan mengenai pengertian Humanisme diatas, perlu kiranya memahami wacana yang diusung oleh Humanisme tersebut di Barat. Sebuah filsafat rasional yang melandaskan kepada pemahaman bahwa manusia merupakan penganggungjawab segala aspek terkait kehidupan manusia menggiring sebuah sikap yang mendukung doktrin antroposentris. Antroposentris merupakan sebuah paham bahwa manusia merupakan titik pusat segala bentuk kehidupan masyarakat baik aturan, etika dan bidang lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan makna Humanisme didalam The Cambridge Dictionary of Philosophy mengatakan bahwa

     “a set of presuppositions that assigns to human beings a special position in the scheme of things. Not just a school of thought or a collection of specific beliefs or doctrines, humanism is rather a general perspective from which the world is viewed.”[9]

Pendapat diatas memperlihatkan wacana awal yang dibangun didalam doktrin Humanisme dengan memberikan manusia posisi khusus untuk mengambil alih berbagai macam skema didalam beberapa hal yang berbeda. Dalam wacana diatas juga dijelaskan mengenai peran Humanisme yang dinilai lebih dari sekedar doktrin keagamaan atau pemikiran namun wacana yang dibangun tersebut merupakan perspektif umum dari mana dunia dipandang.

            Humanisme muncul sebagai sebuah penawaran alternatif didalam agama yang telah lama dipercayai dan diyakini manusia. Dalam hal ini, Humanisme menggiring asumsi terhadap sikap percaya bahwa kehidupan didunia ini hanyalah sebuah kehidupan yang didasari pada pengetahuan manusia yang menjalaninya serta setiap manusia memiliki hak penuh didalam kehidupan mereka masing-masing dengan kebebasan penuh dalam menjadikan kehidupan tersebut lebih baik.[10]

            Terlepasnya ajaran Humanisme dari doktrin agama diperkuat dengan definisi yang memberikan asumsi yang meyakinkan bahwa ketika manusia diberikan kebebasan dalam berpikir dan bertindak demi keberlangsungan hidupnya maka itu adalah sebuah kunci utama didalam mendukung kesuksesan hidup tersebut, tentunya didukung dengan alasan dan pengetahuan manusia tersebut didalam memaknai aspek-aspek yang beragam didalam kehidupan.[11] Hal ini kemudian membuka pintu-pintu kebebasan berkehendak dalam segala bidang, karena manusia yang menjadi tolak ukurnya tidak bersifat absolut melainkan relatif.  

            Selain membawa doktrin antropocentris sebagai sebuah aliran filsafat, Humanisme menjadikan dirinya sebagai salah satu filsafat penting dalam kehidupan yang menekankan kesejahteraan manusia, dimana kesejahteraan tersebut tidak seperti kesejahteraan yang dianggap Tuhan atau kepercayaan supranatural lainnya. Humanisme berpendapat bahwa tidak pernah ada bukti nyata bahwa kekuatan Tuhan atau kepercayaan supranatural tersebut pernah dikomunikasikan kepada manusia, sebagaimana juga kedua hal tersebut tidak pernah terbukti pernah menjadi pengganggu hukum alam dan memberikan kerugian kepada siapapun didunia.[12]

     “Humanism is a philosophy, worldview, or life stance based on naturalism-the conviction that the universe or nature is all that exists or is real. Humanism serves, for many humanists, some of the emotional and social functions of a religion, but without belief in deities, transcendental beings, miracles, immortality, and the supernatural. Humanists seek to understand the universe by using science and its methods of critical inquiry-logical reason, empirical evidence, and skeptical evaluation of conjectures and conclusions-to obtain reliable knowledge. Humanists affirm that humans have the freedom to give meaning, value, and purpose to their lives by their own independent thought, free inquiry, and responsible, creative activity. Humanists stand for the building of a more humane, just, compassionate, and democratic society using a pragmatic ethics based on human reason, experience, and reliable knowledge-an ethics that judges the consequences of human actions by the well-being of all life on Earth.[13]

            Sikap Humanisme didalam doktrin antroposentrisnya tersebut kemudian menjadi landasan dalam paham-paham lainnya yang muncul setelahnya, seperti paham relativisme. Paham relativisme muncul dan berkembang setelah Barat menerima konsep yang diajukan oleh Humanisme didalam kehidupan masyarakat seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tentunya hal itu menambah permasalahan, karena dengan dibukanya pintu relativisme tersebut, manusia memiliki anggapan bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat absolut atau pasti, semua bentuk kebenaran sudah merupakan hal yang relatif dan dapat berubah-ubah sesuai dengan pendapat manusia yang menjalaninya.[14]

            Wacana Humanise yang berbentuk antroposentris ini menjadi salah satu kunci dasar dalam perkembangan paham lainnya didunia Barat. Paham seperti sekulerisasi juga muncul dan dipengaruhi peran humanis itu sendiri, karena pemisahan antara agama dan kehidupan sosial manusia merupakan salah satu bentuk nyata didalam sikap anti-Tuhan dalam Humanisme.[15] Hal ini kemudian berdampak pada beberapa hal seperti munculnya perjuangan-perjuangan mengatasnamakan HAM dalam kehidupan manusia yang justru dinilai mengingkari unsur fitrah manusia tersebut. Paham feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender, paham pernikahan sejenis dan LGBT merupakan dampak nyata dari wacana yang dibangun didalam konsep Humanisme tersebut.[16] Dalam permasalahan ini, terdapat kasus utama yaitu desakralisasi konsep Tuhan dan proses marginalisasi agama di Barat yang menjadi tonggak utama kelangsungan dan perkembangan pesat aliran dan paham-paham diatas, sehingga perlu kiranya memahami lebih lanjut bagaimana wacana teologi (agama dan ketuhanan) tersebut dipahami di Barat dan kemudian bisa ditinggalkan.

PERKEMBANGAN HUMANIS DAN TEOLIGINYA

            Mengutip tulisan Hamid Fahmi bahwa Humanisme ternyata bukan sekedar aliran filsafat yang muncul pada masa renainsane, melainkan usia yang dimiliki Humanisme yang muncul di Barat tersebut diperkirakan seumur peradaban Barat itu sendiri.[17] Argumen ini dapat dibuktikan melalui sejarah panjang yang dialami Humanisme tersebut di Barat yang muncul sejak filsuf terdahulu bernama Protagoras (seperti yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya). Filsafat Humanis menjelma menjadi sebuah doktrin beraoma baru sejak abad ke-14 (Renainsane) yang merupakan titik awal kesemangatan mereka dalam mengkaji filsafat, seni dan sastra kalsik yang tinggi.

            Pada awalnya humanisme memiliki doktrin yang kuat mengenai agama (dalam hal ini kristen). Namun seiring berjalannya perkembangan humanis tersebut, tepatnya pada awal abad ke-16, gereja di Eropa Barat berada didalam keadaan yang benar-benar kritis dan memerlukan pembaruan. Tata gereja saat itu dianggap telah mengalami kemerosotan dan kegagalan yang nyata karena kinerjanya didalam memenuhi kebutuhan sosial manusia dinilai tidak lagi efisien.[18] Hal ini kemudian  disambut dengan hal senada oleh pengamat kristen dan teolog lainnya seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin yang mengatakan hal bahwa gereja telah kehilangan visinya.

            Hal yang lebih menarik perhatian kalangan teologi adalah timbulnya cemooh yang mendalam dari kubu agamis itu sendiri yaitu Kardinal Pelagius, dimana ia menegaskan bahwa manusia punya kapasitas yang kuat dan cukup untuk menentukan segala tindakan dan perkembangan tanpa campur tangan Tuhan.[19] Peristiwa ini kemudian menjadi pintu perkawinan yang terjadi antara humanisme dan kristen saat itu, percampuran teologi dan beberapa hal terkait prinsip ketuhanan mulai dicemari saat itu. Teologi yang awalnya masih memberikan space dan hak Tuhan kemudian berganti pada konsep antroposentris yang benar-benar otoriter sehingga aspek ketuhanan dilenyapkan secara paksa.

            Kehilangan kepercayaan yang dialami masyakarat Barat saat itu merupakan sebuah kalkulasi dari berbagai macam hal yang terjadi saat itu. Salah satunya adalah pendapat yang dikemukakan oleh Philip Schaff yang menuliskan :

     “Education was confined to priest and nobles. The Mass of the laity could neither read nor write and had no access to the world of God except the Scripture lessons from the pulpit.”[20]

            Mengutip komentar yang diberikan oleh Mc Grath, membuktikan bahwa dalam perjalanannya, Humanisme di Barat pada abad pertengahan merupakan sebuah doktrin yang masih dikategorikan religius. Menurutnya pada masa tersebut, para Humanis lebih condong dalam memperhatikan pembaharuan terhadap gereja daripada melihat kehancuran gereja tersebut.[21] Namun hal tersebut berbanding terbalik sejak zaman renainsane dimana para humanis justru mengesampingkan Tuhan dan berfokus pada manusia saja.

            Menelaah kembali kepada ajaran Humanis pada masa renainsane, maka dapat dikatakan reformasi yang terjadi saat itu merupakan kesatuan yang sangat kuat antara Humanis dan Renainsane. Dalam hal ini, seorang tokoh bernama Carlos Eire mengutip pendapat seorang sejarawan bernama Bernd Moeller yang berisi penegasan bahwa “No Humanism, No Reformation” atau dalam bahasa lain ia mengatakan “No Renainsane, No Reformation”.[22] Ia bermaksud menjelaskan bahwa terdapat aspek yang bersifat esensial didalam tubuh Humanisme yaitu menegakkan kembali aspek intelektual renainsane yang kemudian akan berimplikasi pada sebuah perubahan atau reformasi.

            Pergeseran yang terjadi didalam tubuh Humanisme menjadi cikal bakal pergeseran teologi. Pada awalnya mereka masih memberikan ranah kekuasaan Tuhan sebagai dasar pijakan manusia seketika berubah sejak masa Renainsane bergulir, Humanisme pada masa tersebut memberikan karakteristik baru. Humanisme mengajarkan suatu model pendidikan yang menjadikan manusia kembali ke martabat dan harkatnya, mereka berusaha untuk menempatkan manusia pada seluruh potensi yang memungkinkan untuk digali dan dikembangkan.[23] Hal ini kemudian menjadi sangat cepat berkembang dan diterima di Barat, dimana peran Humanis membuat perkembangan kaum atheis semakin pesat dan meluas.

KONSEP KETUHANAN DAN AGAMA DALAM PANDANGAN TEOLOGI HUMANIS

            Menarik kembali kutipan Hugo mannel diatas bahwa jika melihat kepada pendapat Karl Bart mengenai Tuhan maka sudah selayaknya kita berbicara Tuhan selayaknya berbicara tentang manusia. Hal ini dikuatkan dengan pendapat lainnya mengenai konsep ketuhanan di dalam teologi Humanis tersebut, dimana para humanis berpendapat bahwa Tuhan didalam pandangan mereka memiliki dua bentuk yang perlu dikaji lebih mendalam, yaitu Objektif dan Subjektif.[24] Tuhan yang mereka sebut objektif merupakan Tuhan yang mereka anggap sebagai wujud Tuhan yang banyak dipercayai manusia dalam ranah keimanan, ritual (ibadah) dan penyembahan.[25] Selain itu terdapat pandangan lainnya bahwa Tuhan didalam agama merupakan sebuah formulasi intelektual yang menegaskan bahwa manusia merupakan sisi Tuhan yang subjektif, yang mampu berbuat dan menentukan jalan hidup serta aturan didalamnya.[26] Pembagian kepada bentuk Tuhan subjektif dan objektif merupakan sebuah jalan nyata yang dilegalkan didalam filsafat tersebut tentang marginalisasi ketuhanan didalam agama.

            Dalam hal ini Humanisme juga berpendapat bahwa manusia selaku pelaku kehidupan sosial dan Tuhan subjektif mampu untuk berbicara dan menentukan segala hal berkaitan tentang nilai-nilai kehidupan.[27] Nilai-nilai tersebut kemudian di aplikasikan lewat perumusan aturan yang didasarkan pada diri manusia tadi sebagai wujud Tuhan yang subjektif. Pandangan ini diperkuat dengan pendapat beberapa tokoh seperti H.G.Wells, Like Webber dan Jean Paul Sartre  yang kurang lebih mengatakan bahwa “God Shape gap human conciousness[28] atau dengan terjemahan bebasnya yaitu, Tuhan dalam ranah keimanan yang dipercayai manusia telah membentuk suatu celah didalam sikap kesadaran manusia tersebut.

            Selain itu pendapat lainnya juga mengatakan bahwa manusia dewasa ini telah memiliki sebuah kemampuan untuk dapat mengklasifikasi, berbicara serta menarik kesimpulan melalui hal-hal yang dialaminya serta yang dicernanya sebagai sebuah nilai kehidupan dan dikomparasikan dengan pandangan gereja sebagai asas keimanan mereka.

     “Humanism is a philosophy, worldview, or life stance based on naturalism-the conviction that the universe or nature is all that exists or is real. Humanism serves, for many humanists, some of the emotional and social functions of a religion, but without belief in deities, transcendental beings, miracles, immortality, and the supernatural. Humanists seek to understand the universe by using science and its methods of critical inquiry-logical reason, empirical evidence, and skeptical evaluation of conjectures and conclusions-to obtain reliable knowledge. Humanists affirm that humans have the freedom to give meaning, value, and purpose to their lives by their own independent thought, free inquiry, and responsible, creative activity. Humanists stand for the building of a more humane, just, compassionate, and democratic society using a pragmatic ethics based on human reason, experience, and reliable knowledge-an ethics that judges the consequences of human actions by the well-being of all life on Earth.”[29]

            Hal ini kemudian menjadikan manusia tidak lagi membutuhkan Tuhan dan bahkan menolak keimanan terhadapnya. Hal demikian merupakan salah satu wacana yang dibangun oleh Humanis, dimana mereka menekankan sebuah gaya hidup yang positif, yang menurut mereka merupakan pendekatan terhadap kehidupan berdasarkan pada akal dan asas kemanusiaan bersama, mengakui kepentingan dan nilai-nilai moral bersama serta tidak kalah pengalaman manusia itu sendiri. Hal ini senada dengan peran filsafat dalam kehidupan, humanis juga memiliki perjuangan yang hampir sama dengan filsafat lainnya yang ada.[30]

            Manusia dipercaya sebagai poros dan embrio terbentuknya teologi humanis. Hal ini diperkuat dengan pendapat D.F. Strauss yang meminjam teori dialektika Hegel (dengan menggabungkan dua hal yang kontradiksi sehingga dapat didamaikan), sehingga Strauss mengatakan bahwa dalam pandangan teologi humanis konsep Tuhan tidaklah mutlak ditolak, namun Tuhan tersebut telah berevolusi menjadi manusia dalam suatu pengertian khusus. Ia mengatakan bahwa “God Became Man”, yang menguatkan pendapat mengenai konsep Tuhan yang subjektif seperti yang telah dijelaskan diatas.

     “His coming into the world shows that He did not originate here. Also He came in His own energi. He had existence. He came down from heaven (John 6:38). He came forth the Farther and came into the world (John 16:28). He came to be with men; Therefore He became a man.”[31]

Hal yang mendasari pendapat ini adalah tujuan Strauss mendamaikan dua hal besar yaitu para theism dan atheism, sehingga ia mencetuskan ide mengenai Tuhan tersebut.

            Dalam pandangan lainnya, teologi humanis juga berpendapat bahwa dalam menentukan moral dan nilai-nilai terkait kehidupan manusia didunia sudah dapat ditemukan dalam diri manusia itu sendiri. Terkait hal ini, mereka beranggapan bahwa manusia sudah mampu menyamakan bentuk aturan Tuhan yang objektif dengan pola pikir mereka sebagai Tuhan yang subjektif. Dalam hal ini terdapat sebuah istilah bahwa “God equals Man”.[32]

            Melalui pendapat humanis lainnya, terlihat bahwa Tuhan dalam pandangan mereka memang telah mengalami pergeseran posisi dan arti. Mengutip dari salah satu buku karangan Philip Selznick, yang mengatakan bahwa seluruh bentuk kekuasaan dan kekuatan Tuhan telah digantikan dengan seluruh bentuk abstrak dari konsep budi luhur manusia, sifat alam dan realitas semestas serta sisi kemanusiaan itu sendiri.[33]

            Selanjutnya mengenai pandangan Humanis tentang konsep agama, dimana mereka menganggap bahwa agama hanyalah merupakan sebuah sistem kolektifitas bangsa yang memiliki kepercayaan dan keimanan terhadap agama tersebut. Agama bagi mereka bukan merupakan hasil originalitas aqidah dan metafisik seperti yang ada saat ini.[34] Sehingga manusia bisa saja meninggalkan doktrin tersebut dan menggantinya dengan paham yang lebih bersifat kemanusiaan menurut mereka.

 

DAFTAR BACAAN

Esposito, John L. The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic World. (New York: Oxford University Press, 1995).

Gea, Antonius Atosokhi. Antonina Panca Yuni Wulandari, Relasi Dengan Dunia. (Jakarta: Pt Elex Media Komputindo, 2005).

HanafiAl-Yasar al-Islamî, Jurnal Islamika,  (edisi 1 Juli- September 1993). 

Hardiman, F.Budi. Humanisme dan sesudahnya: meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012).

Keraf, A. Sonny Etika Lingkungan Hidup. (Jakarta: Buku Kompas, 2010).

Lenczowski, George. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar Bixby. (Cet.I; Bandung: Sinar Baru, 1992).

Mulyo Kadarmanto, Humanisme, Reformasi dan Pendidikan dalam Protestanisme Awal dan Implementasinya dalam Mendidik Guru Kristen di Era Global, Bandung: STT Bandung, 2017

Philip Selznick, A Humanist Science; Values and Ideals in Social Inquiry, (California: Stanford University Press, 2008

Siswanto, Joko. Sistem-Sistem Metafisika Barat. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1998).

Syaukani, Lutfi. Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme’ dalam Ulumul Qur’an. (Vol. V, tahun 1994).

Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. (Jakarta: Gema Insani, 2005).

Tim Balitbang PGI. Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2007).

Yuil, K. Assisted Suicide: The Liberal, Humanist Case Against, (University of Sunderland, UK: Palgrave Macmillan, 2013).

Zarkasyi, Hamid Fahmy. Misykat: refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. (Jakarta: INSIST, MIUMI, cet.2, 2012).



[1]Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, (Jakarta: INSIST, MIUMI, cet.2, 2012), hlm.59.

[2]A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Buku Kompas, 2010), hlm.56.

[3]Antonius Atosokhi Gea, Antonina Panca Yuni Wulandari, Relasi Dengan Dunia, (Jakarta: Pt Elex Media Komputindo, 2005), hlm.41.

[4]F.Budi Hardiman, Humanisme dan sesudahnya: meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), hlm.47.

[5]Ibid

[6]Lihat K. Yuil, Assisted Suicide: The Liberal, Humanist Case Against, (University of Sunderland, UK: Palgrave Macmillan, 2013).

                [7] Humanis merupakan sebuah aliran filsafat yang terkenal dengan konsep humansentrisnya atau sering disebut juga antroposentris. Antroposentris sendiri memiliki paham yang menganggap manusia sebagai hakikat sentral kosmos (centre of cosmos). Pada hakikatnya, pemikiran akan sentralitas manusia sebagai referensi nilai dalam segala hal adalah pemikiran yang cukup tua yang akar-akarnya bisa ditelusuri pada paruh kedua abad ke-5 SM, yaitu pada pemikiran Protagoras (sekitar tahun 490-420 SM), seorang pemuka kaum Sopist. Dari filosof inilah ditemukan suatu pernyataan bahwa manusia adalah satu-satunya standar bagi segala sesuatu. Lihat: Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007), 51-52

                [8] Anthony B. Pinn, The End of God Talk; An American Humanist Theology, (New York: Oxford University Press, 2012), 45

                [9] The Cambridge Dictionary of Philosophy

                [10] Dalam sebuah definisi terlihat bangunan wacana humanis yang menitikberatkan pada bentuk dan pola kehidupan, pola berpikir dan aktualisasi seluruh bentuk aspirasi manusia yang berkaitan dengan kebahagiaan hidup mereka. Humanist take responsibility for their own morals and their own lives, and for the lives of their communities and the world in which we live. Humanists emphasize reason and scientific inquiry, individual

freedom and responsibility, human values and compassion, and the need for tolerance and cooperation. Humanists reject supernatural, authoritarian, and anti-democratic beliefs and doctrines.

                [11] The American Humanist Association

                [12]

                [13] The Virtual Community of Humanist

                [14] Lihat : Helena Petrovna Blavatsky, The Truth Always Mixed with Error and Hindered by Technological Knowledge, (Philaletheians UK, 2018), 2

                [15] Pippa Norris dan Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide, (New York: Cambridge University Press, 2004), 3-5

                [16] Johan Setiawan, Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan, (Jurnal Filsafat, Vol. 28, No. 01, 2018), 34. Lihat juga: Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 104.

                [17] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam (Jakarta: INSISTS-MUIMI, 2012), 51

                [18] Mulyo Kadarmanto, Humanisme, Reformasi dan Pendidikan dalam Protestanisme Awal dan Implementasinya dalam Mendidik Guru Kristen di Era Global, (Bandung: STT Bandung, 2017), 277

                [19] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi Tentang..., 51

                [20] Philip Schaff, History of the Cristian Church: Vol. VII, Modern Christianity, The German Reformation (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethernal Library, 2002), 8

                [21] Alister E. Mc Grath, Sejarah Pemikiran Reformasi..., 50

                [22] Lihat: Carlos M.N. Eire, Reformation: The Early Modern World, 1459-1650 (New Heaven: Yale University Press, 2016)

                [23] Mulyo Kadarmanto, Humanisme, Reformasi dan ..., 283

                [24] Hugo Meynell, A Humanist Theology, (Jstor Journal Article New Blackfriars, Vol. 44, No. 515, 1963), 205

                [25] Hugo Meynell, A Humanist Theology..., 205

                [26] Hugo Meynell, A Humanist Theology..., 205

                [27] Anthony B. Pinn, The End of ..., 45

                [28] Dalam istilah lainnya tokoh-tokoh tersebut menyebutkan bahwa “Like Webber, he realized that science and rationality would never plug metaphysical gap”, selain itu juga “Paul Sartre called the God Shape hole in the human consciousness”. Lihat : Steve Mattewman et. al., Being Sociologica, (Palgrave Macmillan, 2017), 286

                [29] Lewis Vaughn & Austin Dacey, The Case of Humanism..., 7

                [30] Corliss Lamont, The Philosophy of..., 1

                [31] P.B. Filtzer, Why God Became A Man, (Wipf and Stock Publishers, 2005), 14

                [32] Hugo Meynell, A Humanist Theology..., 206

                [33] Selain itu Humanist mengklaim bahwa ajarannya tersebut merupakan sebuah bentuk filsafat rasional yang dilandasi lewat pembuktian sains, terinspirasi melalui sebuah seni dan memiliki motivasi sebuah landasan kebebasan individu dalam hidup sosial, baik hak asasi hingga keadilan sosial. mereka menyebut bahwa tanpa sebuah konsep theism (Tuhan) atau bentuk kepercayaan supranatural lainnya manusia telah mampu menjadi penanggungjawab dalam membentuk konsep etika kehidupan. Karena bagi kaum humanis sebuah ajaran agama bukanlah bersandar pada Tuhan, melainkan diri sendiri (selfhood). Lihat: Philip Selznick, A Humanist Science; Values and Ideals in Social Inquiry, (California: Stanford University Press, 2008), 24. Kebebasan dari sebuah konsep supranatural menjadikan manusia sebagai bagian natural yang mampu menghasilkan nilai-nilai yang menjadi landasan sosial, etika dan politik.

                [34]


Penulis: Nirhamna Hanif Fadillah, M.Ag.

Posting Komentar

Posting Komentar