8BmEg4v8P7uY0xxaFhXUJ46gPclAwvFkbC47Z6LN
Bookmark

Indonesia Tanpa Liberal di Indonesia

Resensi buku               : Indonesia Tanpa Liberal

Peresensi                     : Nirhamna Hanif Fadillah

Utusan                         : PKU Kaltim

Penulis                         : Artawijaya

Penerbit                       : Republika

Tahun                          : 2012


Dewasa ini, isu mengenai radikalisme di Indonesia selaui dikaitkan dengan Islam, muslim dan jihat. Melihat dari tugas menteri agama untuk memberantas radikalisme, maka Dr. Syam mengajak mahasiswi pascasarjana untuk meninjau kata "radikalisme" melalui aspek sejarah dan bahasa. 

Pada abad 20, telah muncul upaca dari berbagai pihak untuk merusak dan merobek-robek Islam. Jika diibaratkan seperti baju –memiliki fungsi untuk menutupi aurat- yang dirobek hingga terlihat compang camping. Salah satunya adalah dengan menimbulkan bermacam-macam distorsi Islam. Seperti Islam Politik, Islam Militan, Islam Modernis, Islam Fundamentalis, Islam Radikal, Islam Liberal, Islam Inklusif, Islam Progresik, Islam Jawa, Nusantara, Islam Berkembang. Hal ini menimbulkan pemahaman-pemahaman yang keliru tentang Islam. Terutama setelah diterbitkan buku-buku tentang macam-macam distorsi Islam.

Menurut Prof. Dr. Abuddin, setidaknya ada 31 macam distorsi Islam yang semuanya bersumber pada Barat. Dalam hal ini, Dr. Syam mengkritik Barat yang menulis bermacam-macam buku tentang Islam tetapi tidak paham akan Islam itu sendiri, dalam istilah lain berarti Lost of Adab. Sepert buku berjudul American Islam, Shi'I Islam, Liberalism Islam, Islam Militan. Yang menjadi permasalahan adalah kata "Islam" yang menjadi label dalam setiap judul tersebut, seakan menunjukkan bahwa hal-hal tersebut ada dalam Islam. 

"Hadzihi Afkarun Munkaron" sebut Dr. Syam. Ini merupakan pemikiran yang munkar. Jika hanya diam, tidak memprotes, tidak menunjukkan kemunkaran ini, maka sama saja seperti tidak mengikuti perintah Allah.  Man ro'a minkum munkaron…

Karena itu, untuk menolak dan menentangnya harus dipahami terlebih dahulu arti dari keduanya. Islam Liberal, pahami dulu, apa itu Islam, apa itu liberal. Jika tidak mengetahui artinya, maka akan menimbulkan perselisihan antar umat Muslim yang berujung pada perkelahian dan saling membenci. Dapat dilihat sebagai contoh ketika munculnya konteks "Islam Nusantara", banyak orang mempertanyakan hal yang sama, "Apa bedanya Islam yang itu dengan Islam Arab?". Pertanyaan tersebut akhirnya sukses menimbulkan suatu peryataan baru yang menganggap bahwa Islam merupakan Negara import dari Arab. Munculnya konsep-konsep baru dari Barat telah berhasil membenturkan, mengadu dan merusak pemikiran umat Muslim tentang Islam hingga menimbulkan suatu dilema palsu.

Buku ini berupaya memberikan gambaran mengenai penyelewengan-penyelewengan pemahaman kelompok-kelompok liberal dari akidah Ahlusunnah wal Jamaah. Buku yang ditulis oleh mantan wartawan media Islam yang kini aktif sebagai dosen dan peneliti ini berupaya memberikan gambaran mengenai penyelewengan-penyelewengan pemahaman kelompok-kelompok liberal dari akidah Ahlusunnah wal Jamaah. 

Seperti diketahui, salah satu bahaya yang saat ini mengancam umat Islam, khususnya di Indonesia, adalah gerakan pemurtadan. Gerakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh kelompok non-Muslim, tapi juga mereka yang mengaku Muslim, namun memiliki pemahaman dan akidah yang keluar dari prinsip-prinsip keislaman. Penulis menegaskan, fenomena paham-paham yang merusak akidah Islam semakin marak dan berkembang di negeri ini. Mulai dari yang tidak masuk akal sampai yang seolah-olah dikemas dengan bungkus ilmiah. 

Di antara paham yang merusak itu adalah sekularisme, pluralisme, dan liberalisme yang biasa disingkat dengan sepilis. Paham ini adalah ideologi impor dari Barat yang kemudian berusaha dipasarkan dan dijajakan di negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. Paham ini pada 2005 sudah difatwa haram oleh MUI karena bertentangan dengan akidah kaum Muslimin.

Di antara penyokong paham sepilis itu Jaringan Islam Liberal (JIL) yang meskipun jumlahnya sedikit, didukung oleh corong media nasional, dana, dan avokasi asing, bahkan alat kekuasaan. Dengan gaya tulisan jurnalistik yang mengalir, cair, dan mudah dipahami, penulis mengulas sepak terjang kelompok liberal, latar belakang berdiri, para aktivisnya, serta sejarah panjang kampanye pluralisme agama di nusantara yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Terutama, sejak orang-orang Eropa datang ke negeri ini bersamaan dengan kolonialisme yang kemudian memasarkan humanisme.

Judul bab-bab buku ini sangat menggoda. Sebut saja, fron liberal dari Utan Kayu, tersesat di jalur liberal, Ulil Abshar Abdalla dan doktrin Freemason, serta in Israel we trust. Bab-bab lainnya adalah JIL dan teosofi, para pionir pluralisme dan idola kaum liberal, dan Indonesia tanpa liberal yang dijadikan judul buku ini.

Masih ada sejumlah bab yang juga menggugah rasa ingin tahu pembaca, seperti Ahmadiyah proyek zionisme, zionisme dan propaganda adu domba, freemason di balik runtuhnya Khilafah Usmaniah, pengkhianatan kelompok sekuler menghapus Piagam Jakarta, pluralisme agama, Kartini dan para sahabat Yahudi.

Buku ini ditutup dengan pembahasan yang ringkas, namun padat tentang propaganda pluralisme agama di nusantara dan kaum teosofi. 

Posting Komentar

Posting Komentar