8BmEg4v8P7uY0xxaFhXUJ46gPclAwvFkbC47Z6LN
Bookmark

Kritik Gagasan Pembaharuan Abdullah Ahmed An-Na’im

Judul Asli        : Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam

Pengarang       : Dr. Adang Djumhur Salikin, M.A.

Penerbit           : Gama Media

Tahun              : 2004

Halaman          : 320

Penulis : M. Kharis Majid

Tema yang mengangkat tentang Syariah dan Hak Asasi Manusia merupakan wacana dan diskursus kontemporer yang banyak menarik dikalangan akademisi, karena pada umumnya antara Syariah dan Hak Asasi manusia merupakan sesuatu yang kontradiktif, yang mana Syariah dipandang dari perspektif Islam sedangkan Hak Asasi manusia ditelaah menggunakan kacamata Barat. Maka, bagaimana menghubungkan antara Syariah dan Hak Asasi Manusia tanpa merugikan keduanya inilah yang menarik perhatian penuh dari kalangan pemikir Islam saat ini.

Dalam buku ini membahas tentang hal tersebut dan merupakan kritik terhadap pemikiran An-Na’im, An-Na’im berpandangan bahwa Al-Qur’an seolah tidak bertujuan untuk mengatur hubungan manusia, melainkan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan saja. Dan dia sependapat dengan pernyataan bahwa Al-Qur’an tidak berisi tentang hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia, melainkan sesuatu yang memiliki daya tarik manusia untuk menaati peraturan Tuhannya. Bagitu juga dengan pandangannya terhadap sunnah yang ia beranggapab bahwa sunnah merupakan varian dari konsep Arab kuno.

Kerangka konseptual gagasan pembaharuan An-Naim diantaranya, pertama syariah merupakan produk sejarah, merupakan hasil interpretasi dari Al-Qur’an dan sunah dalam konteks sejarah, dantidak bersifat ilahiah, serta bersifat historis, kedua Syariah Historis tidak memadai, yang mana syariah dibangun dari Al-Qur’an dan sunah pada masa Madinah, ketiga Syariah (Makiyah) merupakan syariah modern, yang dibangun pada periode Mekkah yang menjunjung tinggi persamaan dan martabat kemanusiaan, tentunya hal ini relevan dengan masyarakat modern, keempat Nasakh merupakan metodologi modern yang menyatakan syariah madinah sebagai mansukh dan syariat Makkiyah sebagai Naskh. Implikasi dari gagasan tersebut akan merubah paradigma syariah yang  pada awalnya sangat normative dan sakral menjadi sangat relative.

Ada empat catatan penting yang merupakan kesimpulan dari pemaparan diatas, pertama Pandangan An-naim tentang syariah bukan wahyu melainkan tafsir historis tidaklah tepat, karena umat Islam meyakini bahwa syariah merupakan firman Allah, sedangkan tafsir atas nas dinamakan fiqih, kedua menurut An-Naim hubungan antara syariah dan HAM tidaklah mendapatkan titik temu yang spesifik, ini dikarenakan syariah tidak adil terhadap HAM itu sendiri, hal tersebut perlu ditelaah lebih dahulu apa yang dimaksud dengan HAM dan konsep manusia itu sendiri.

Pandangan An-Naim yang mengangkat HAM diatas segalanya membuat syariah harus mengikuti HAM itu sendiri, padahal syariah yang berasal dari wahyu Allah yang menciptakan manusia memiliki otoritas untuk mengaturnya. Seharusnya bukanlah syariah yang dirubah untuk menyesuaikan HAM, akan tetapi HAM lah yang harus di rekonstruksi dengan menyesuaikan syariat Islam. Ketiga metode yang digunakan An-Naim dalam nask wa mansukh terbalik, bukan menaskh ayat-ayat madinah dengan ayat-ayat Mekkah, akan tetapi seharusnya menaskh ayat Mekkah dengan ayat Madinah. Keempat kategori makiyyah dan madaniyah, yang masih tumpang tindih yang diakui oleh An-Naim sendiri. Dengan demikian An-Naim dengan teori makiyah dan madaniyahnya, selanjutnya menawarkan syariah modern menggantikan syariah historis yang disebutnya tidak kondusif dengan norma-norma HAM Universal.

Dengan demikian gagasan epistemology An-Naim masih sangat kurang dan kurang valid, karena kerangka teori yang ia bangun belum mapan, dengan melihat konsep makiyah dan madaniyahnya yang masih kontroversial.

Posting Komentar

Posting Komentar