8BmEg4v8P7uY0xxaFhXUJ46gPclAwvFkbC47Z6LN
Bookmark

Apa Hukum Shalat Sunnah Qabliyah Jum'at?

Apa hukum shalat sunnah qabliyah jum'at? - Dialog berkaitan masalah ini seolah tidak akan pernah tuntas. Beberapa orang terus mempersoalkan apakah ada shalat sunnah qabliyah jum’at? Dan apa hukum shalat sunnah qabliyah jum’at? Persoalan sepele ini sering kali memancing pihak-pihak tertentu untuk terus menghujat pihak lainnya sehingga pertikaian semakin berlanjut.

Syekh Abdul Malik Abdurrahman as-Sa’di memperjelas, tidak seharusnya ulasan ini jadi sumber pemecahan antara umat. Mengapa demikian? Karena kasus ada tidaknya shalat sunat rawatib qabliyah Jumat terhitung masalah skunder atau furu’ dalam agama. Apa lagi, sampai menunjuk bid’ah dan menyimpang untuk barisan yang lain.

As-Sa’di mengungkapkan, pada intinya beberapa ulama mufakat ada shalat sunat dua atau empat rakaat saat sebelum penerapan shalat Jumat. Atas dasar itu, siapa saja yang menunaikan shalat sunat dua atau empat rakaat saat sebelum shalat Jumat hukumnya diperbolehkan. “Tidak boleh dipandang bid’ah,” katanya.

Selain itu, shalat itu dikerjakan pada waktu yang diperbolehkan shalat, hingga siapa saja dapat shalat sunat mutlak kapan saja, asal tidak di waktu yang dimakruhkan.

Selanjutnya, terhitung kelompok apa shalat sunat dua atau empat rakaat saat sebelum Jumat itu? Beberapa ulama berbeda pandangan.

Pendapat Pertama

Opini yang pertama mengatakan shalat sunat itu ialah shalat qabliyah Jumat. Minimum dua rakaat serta lebih afdal kembali empat rakaat. Ini ialah pilihan yang diputuskan sebagian besar ulama mazhab, diantaranya, mazhab Syafi’i dan Hanafi, dan beberapa ulama mazhab Hanbali.

Di kelompok teman dekat, ada Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair. Di angkatan selanjutnya ada nama Imam ats-Tsauri, an-Nakha’i, dan Abdullah bin al-Mubarak.

Alasan tim pertama, diantaranya, adalah hadits kisah Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mughafal. Hadis itu menyatakaan antara waktu menanti azan dan iqamat, ada shalat sunat rawatib.

Ini diperkuat dengan kisah Abdullah bin Zubair yang dinukilkan Ibnu Hibban. Hadis itu mengatakan, setiap shalat fardhu tentu ada shalat sunat dua rakaat awalnya.

Ibnu Hajar, lalu memberi komentar di kitabnya Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, validitas shalat sunat dua rakaat qabliyah Jumat dapat merujuk pada hadis cuplikan Ibnu Abbas di atas.

Pembicaraan Abdullah bin Umar, ikut juga dijadikan simpatisan argumentasi barisan ini. Jika, Rasulullah SAW tidak melewati shalat sunat saat sebelum Jumat.

Pendapat Kedua

Opini yang ke-2 mengatakan tidak ada shalat sunat qabliyah Jumat. Karena itu, seharusnya menghindar niat shalat sunat itu. Ini karena shalat sunat dua rakaat atau empat rakaat itu masuk kelompok shalat sunat mutlak, bukan qabliyah.

Pilihan ini diaminkan mayoritas Mazhab Hanbali, Maliki, dan salah satunya kisah dalam mazhab Syafi’i. Ibnu Taimiyah dan Ibn al-Qayim merujuk juga pada opini ini.

Argumentasi yang disampaikan oleh tim ini, diantaranya, hadis kisah Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar. Rasul memperjelas di cuplikan itu jika shalat sunah qabliyah tidak disebut. Yang tercantum cuman shalat sunat qabliyah dan ba’diyah Zhuhur.

Ini diperkuat kisah Bukhari dari as-Saib bin Yazid. Saat Rasul berkhutbah Jumat, hampir tidak ada interval di antara khutbah dan shalat, hingga tidak mungkin lakukan shalat sunat di antara saat itu.

Baca juga: Khutbah Jumát Tentang Takwa

Komisi Fatwa Instansi Wakaf Uni Emirat Arab mengatakan topik ini sudah diulas secara obyektif oleh beberapa ulama angkatan salaf dengan masih tetap jaga norma ketidaksamaan dan berkomunikasi.

Bisa saja, shalat sunat saat sebelum Jumat itu ialah shalat sunat mutlak, baik yang sudah dilakukan sebelum waktunya shalat Jumat datang, atau setelah zawal, saat sebelum imam berkhutbah. Ini hukumnya bisa dan disunatkan. Ketidaksamaan ada bila shalat sunat yang diartikan digolongkan sunat qabliyah.

Selesai mengungkapkan jejeran opini ulama, sama seperti yang tertera di atas, instansi ini menghimbau juga supaya sebaiknya masing-masing barisan tidak lalu fanatik dan mempersalahkan opini tim yang lain.

Masalah ini terhitung ranah ijtihad. Apa lagi, menunjuk faksi yang berbeda pandang dengan claim bid’ah atau sudah bermaksiat, benar-benar perlakuan yang kurang bijak dan arif.

Instansi ini tidak lupa mengingati untuk mereka yang memiliki pendapat ada shalat sunah saat sebelum Jumat, yakinkan jika shalat itu dilaksanakan pas ketika waktunya, jangan dimajukan atau diakhirkan waktu realisasinya, yakni saat waktu shalat Jumat datang, pas periode /zawalsaat matahari terpeleset di awa siang.

Ba’diyah

Selanjutnya, berkaitan hukum shalat sunat setelah Jumat (ba’diyah), beberapa ulama mazhab setuju hukumnya sunat karena itu bisa dilaksanakan. Minimum rakaatnya dua dan paling utama empat rakaat.

Ini dapat ditunjuk, diantaranya, di beberapa kitab ulama mazhab masing-masing, sebutlah saja kitab al-Ikhtiyar yang bercorak Hanafi, al-Istidzkar bermazhab Maliki, al-Minhaj dan Mughni al-Muhtaj dari kelompok Syafi’i, dan kitab al-Kafi dan Nail al-Maarib sebagai wakil mazhab Hanbali.

Hukum Qabliyah Jumat

Sunat:

Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair, Imam ats-Tsauri, an-Nakha’i, dan Abdullah bin al-Mubarak. Dan, sebagian besar mazhab yaitu, Hanafi, Syafi’i, dan beberapa ulama mazhab Hanbali. Di angkatan selanjutnya ada nama.

Bukan qabliyah, tapi sunat mutlak:

Mazhab Hanbali, Maliki, dan salah sat kisah dalam mazhab Syafi’i. Ibnu Taimiyah dan Ibn al-Qayim.

Wallahu a’lam


Posting Komentar

Posting Komentar